Tambang Menjarah Sungai, Pemerintah Diam, Tragedi di Kali Muria

HALTIM, GREEN FORES-Air yang dulu jernih dan menjadi sumber kehidupan warga di sekitar Kali Muria, Kecamatan Wasile, Kabupaten Halmahera Timur, kini berubah muram.

Warnanya cokelat pekat, beraroma lumpur, dan tak lagi bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Di balik perubahan itu, ada jejak tambang yang diduga kuat menjadi biang keladi.

Di tepi sungai yang kini kotor itu, warga hanya bisa mengelus dada. Lahan pertanian mereka gagal panen, sumur-sumur mengering, dan harapan hidup bersih kian sirna.

“Dulu kami bisa minum langsung dari sungai, sekarang airnya seperti kopi. Semua rusak karena tambang,” kata salah satu warga Desa Batu Raja dengan nada getir.

Menurut Sekjen eL-KAPI, Farid Ahmad, pencemaran ini bukan insiden baru, melainkan tragedi yang berulang. Ia menyebut dua perusahaan tambang, PT JAS dan PT ARA, sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan di kawasan itu.

“Bukan sekali dua kali. Ini sudah sering terjadi. Kami menduga kuat aktivitas tambang mereka yang menyebabkan pencemaran air Kali Muria,” ujar Farid dalam keterangan persnya, Kamis (30/10).

Banjir lumpur dari wilayah tambang telah menghantam sejumlah desa transmigrasi di Subaim, termasuk Desa Batu Raja dan Desa Bumi Restu. Sawah-sawah tertimbun lumpur, tanaman mati, dan hasil panen tak lagi bisa diharapkan.

Bagi warga yang menggantungkan hidup dari pertanian, ini bukan sekadar bencana alam, ini bencana akibat keserakahan.

Farid menilai, tindakan dua perusahaan itu jelas melanggar Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Perusahaan wajib bertanggung jawab atas pencemaran yang mereka timbulkan, termasuk melakukan pemulihan lingkungan. Kalau perlu, izinnya dicabut,” tegasnya.

Lembaga eL-KAPI juga mengingatkan bahwa limbah tambang yang mengalir ke sungai berpotensi mencemari laut di pesisir Halmahera Timur. Jika itu terjadi, nelayan pun akan kehilangan sumber mata pencaharian.

Sayangnya, hingga kini, belum ada langkah nyata dari pemerintah daerah. Diamnya otoritas membuat masyarakat khawatir kerusakan ini akan semakin parah.

“Kami akan terus memantau dan mendesak pemerintah agar bertindak. Jangan tunggu semuanya rusak baru menyesal,” kata Farid menutup pernyataannya.

Kini, Kali Muria menjadi saksi bisu bagaimana rakusnya industri bisa mengorbankan alam dan manusia.

Di bawah lumpur yang menutupi aliran air, tersimpan kisah tentang ketidakadilan dan kelalaian yang terus berulang di negeri kaya sumber daya ini. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *