
Investasi besar-besaran dari dalam dan luar negeri untuk industrialisasi berbasis nikel dan energi bersih di Maluku Utara bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia dielu-elukan sebagai motor penggerak ekonomi yang akan menciptakan ribuan lapangan kerja, meningkatkan PAD, dan memodernisasi wilayah. Di sisi lain, ia menyimpan potensi repetisi dari “kutukan sumber daya alam” (resource curse) dimana daerah kaya SDA justru miskin dan rusak lingkungannya.
Gebrakan “industri hijau” yang digaungkan harus kita sambut dengan kritis. Seberapa “hijau” kah industri ini? Apakah sekadar menggunakan energi terbarukan di proses produksinya (yang memang baik), tetapi tetap mengabaikan daya dukung lingkungan dan hak-hak masyarakat adat di sekitarnya?
Beberapa catatan kritis harus menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah:
-
Transparansi dan Pengawasan Ketat: Pemberian izin harus transparan dan dipantau oleh publik. Pengawasan terhadap implementasi AMDAL tidak boleh lemah. Perlu dibentuk lembaga pengawas independen yang melibatkan akademisi dan LSM lingkungan.
-
Pembangunan Berkeadilan: Manfaat ekonomi harus dirasakan secara adil. Jangan sampai yang terjadi adalah enklave ekonomi; pekerja didatangkan dari luar, sementara warga lokal hanya mendapat jobs yang bersifat informal dan berupah rendah. Program vokasi dan pelatihan keterampilan untuk tenaga kerja lokal harus menjadi prasyarat bagi investor.
-
Mencegah Degradasi Lingkungan Akut: Industri smelter dan pembangkit listriknya, meskipun “hijau”, tetap menghasilkan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) seperti slag nikel. Bagaimana sistem pengelolaannya? Jangan sampai Maluku Utara menjadi tempat pembuangan akhir limbah industri nasional.
-
Ketahanan Energi untuk Rakyat: Fokus pembangunan energi jangan hanya untuk industri. Rakyat di pulau-pulau terpencil seperti di Kepulauan Sula atau Obi juga berhak menikmati listrik yang stabil dan bersih dari energi terbarukan.
Maluku Utara sedang berada pada persimpangan jalan. Momentum ini adalah ujian bagi kita semua: pemerintah, investor, dan masyarakat sipil. Apakah kita akan membangun model ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, atau hanya mengejar angka pertumbuhan PDB semata dengan mengorbankan lingkungan dan sosial yang pada akhirnya akan menuai bencana di masa depan? Pilihan ada di tangan kita. Mari berinvestasi untuk Maluku Utara yang tidak hanya kaya, tetapi juga sehat dan berkeadilan
Oleh: Dr. Fatma Alhadar, M.Si (Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun, Ternate)
