Jeruji Berdarah di Rutan Soasio: Luka Baru Warga Adat Maba Sangaji

Kericuhan di Rutan Soasia Kelas IIB, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Senin (20/10/2025)

TIDORE, GREEN FORES-Siang itu, Senin 20 Oktober 2025, suara panik terdengar dari balik tembok tebal Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Soasio, Kota Tidore Kepulauan. Lewat sambungan telepon yang terputus-putus, Sahil Abubakar alias Ilo, salah satu tahanan warga adat Maba Sangaji, melaporkan sesuatu yang jauh dari kata wajar.

“Kami dipukul!” teriaknya sebelum sambungan telepon berakhir.

Bersama sepuluh rekannya, Ilo kini menjalani hukuman atas kasus penolakan tambang nikel PT Position di wilayah adat mereka, Maba Sangaji, Halmahera Timur. Namun, apa yang mereka alami di balik jeruji besi justru memperlihatkan wajah gelap penegakan hukum: kekerasan, bukan pembinaan.

Sebelum tragedi terjadi, Ilo sempat menghubungi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) untuk menanyakan kabar pembebasan mereka. Menurut rencana, mereka akan bebas pada Kamis atau Jumat mendatang. Namun, jawaban pihak rutan dianggap mengambang masih menunggu konfirmasi kejaksaan.

Beberapa menit kemudian, pukul 12.45 WIT, telepon Ilo kembali masuk. Kali ini suaranya berubah, tergesa, panik, dan sesak. Ia memberitahukan bahwa dirinya dan rekannya, Jamaluddin Badi alias Jamal, baru saja menjadi korban pemukulan oleh petugas rutan.

Informasi itu diteruskan oleh Wetub Toatubun dari TAKI. Ia menerima foto yang memperlihatkan wajah Jamal bengkak, matanya memar, bibirnya pecah.

“Ini bukan isu liar. Kami menerima laporan langsung dari dalam rutan,” tegas Wetub.

Menurutnya, tak hanya Jamal yang menjadi korban. Beberapa warga adat lain turut dipukul dan didorong saat mencoba melerai keributan.

“Mereka bukan binatang. Mereka tahanan yang seharusnya diperlakukan manusiawi,” ujarnya dengan nada geram.

Pukul 12.52 WIT, Ilo kembali mengirim pesan singkat. “Di rutan sudah kacau, kami dipukul,” tulisnya. Pesan singkat itu menandai pecahnya kericuhan di dalam blok tahanan warga adat Maba Sangaji.

Konfirmasi datang dari Kepala Rutan Soasio, David Lekatompessy. Ia tidak menampik adanya insiden pemukulan, namun menyebut hanya melibatkan satu orang tahanan.

“Iya, memang ada pemukulan terhadap Jamal karena terjadi cekcok dan salah paham. Hanya satu orang saja,” ujar David.

David menambahkan, pihaknya akan memanggil petugas yang terlibat untuk diperiksa secara internal.

“Jika terbukti bersalah, akan diberikan sanksi administratif.”

Namun, pernyataan tersebut dinilai tidak memadai.

“Ini bukan salah paham, ini penyiksaan,” tegas Wetub.

Ia mendesak Komnas HAM, Ombudsman, dan Kejaksaan turun langsung ke lapangan untuk memastikan kebenaran laporan tersebut.

Kasus ini bukan sekadar tentang lebam di wajah dan darah di bibir. Ia menggambarkan luka yang lebih dalam: luka pada keadilan, pada martabat manusia, dan pada warga adat yang sudah berulang kali terpinggirkan.

Dulu mereka dipersekusi karena menolak tambang di tanah leluhur. Kini mereka dianiaya di tempat yang seharusnya memberi perlindungan hukum.

“Ini adalah bentuk kekerasan berlapis terhadap warga adat,” kata Wetub. “Mereka melawan tambang karena ingin menjaga hutan dan air. Tapi kini, di balik jeruji, mereka malah kehilangan hak paling dasar, hak untuk diperlakukan sebagai manusia.”

Kasus “Jeruji Berdarah” di Rutan Soasio menambah daftar panjang kekerasan di lembaga pemasyarakatan Indonesia. Dalam catatan lembaga advokasi, kekerasan fisik di rutan dan lapas sering kali berakhir tanpa sanksi tegas.

Dinding beton Rutan Soasio mungkin tebal, tapi tidak cukup kuat untuk menahan jeritan mereka yang terluka di dalamnya.

Dan di luar sana, publik kini menunggu satu hal, keadilan yang tidak lagi disekap di balik jeruji besi. (Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *