Halmahera Tengah, Green Fores —Di tengah gemuruh industri nikel yang melanda Maluku Utara, satu nama perusahaan kembali mencuat dalam kontroversi: PT Karya Wijaya. Perusahaan ini memegang dua izin operasi produksi nikel dengan total luas mencapai 1.645 hektare di wilayah Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, namun jejak izinnya menyisakan jejak pertanyaan besar — mulai dari dugaan tumpang tindih izin, konflik sosial, hingga keterkaitan dengan lingkar kekuasaan di provinsi ini.
Pulau Kecil, Tambang Besar
Karya Wijaya pertama kali mengantongi izin operasi produksi nikel pada Desember 2020 dengan luas 500 hektare di Pulau Gebe. Pada Januari 2025, izin baru kembali terbit, memperluas wilayah operasi hingga ke Halmahera Timur. Pulau Gebe sendiri hanya memiliki luas sekitar 224 km² — kategori pulau kecil yang secara hukum mestinya memiliki batasan ketat terhadap aktivitas pertambangan.
Ekspansi tersebut menimbulkan kekhawatiran. Warga Gebe hidup dari perikanan, pertanian, dan sumber air yang terbatas. Aktivitas tambang di hulu pulau disebut telah memicu deforestasi dan sedimentasi, yang berakibat pada turunnya kualitas air dan rusaknya ekosistem pesisir. Warga melaporkan perubahan warna air sungai dan menurunnya hasil tangkapan ikan sejak kegiatan tambang dimulai.
“Dulu air kami jernih, sekarang sering keruh bahkan di musim tidak hujan,” ungkap seorang warga Gebe Selatan dalam wawancara lapangan yang dilakukan tim advokasi lingkungan pada pertengahan tahun ini.
Ruang Izin yang Sarat Anomali
Dokumen perizinan menunjukkan bahwa PT Karya Wijaya telah mengantongi dua izin usaha pertambangan (IUP) berstatus “Clear and Clean”. Namun, temuan dari sejumlah pihak mengindikasikan izin tersebut terbit tanpa seluruh syarat teknis dipenuhi, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (PPKH), izin jetty, dan jaminan reklamasi.
Kondisi ini memunculkan dugaan bahwa perusahaan telah lebih dulu beroperasi sebelum memperoleh izin lengkap. Fenomena semacam ini bukan hal baru dalam industri tambang nikel Maluku Utara — di mana perusahaan beroperasi di lapangan sembari mengurus kelengkapan administratif belakangan. Namun dalam kasus Karya Wijaya, hal ini menjadi sorotan karena lokasinya berada di pulau kecil, yang seharusnya menjadi kawasan konservasi terbatas.
Di sisi lain, pemerintah daerah tampak ambivalen. Alih-alih mengevaluasi izin lama, pada awal 2025 justru muncul izin baru seluas 1.145 hektare untuk perusahaan yang sama. Langkah ini memperkuat anggapan publik bahwa Karya Wijaya mendapat perlakuan istimewa di tengah sorotan dugaan pelanggaran izin.
Konflik Sosial dan Diamnya Negara
Kegiatan tambang di Pulau Gebe tidak hanya mengubah bentang alam, tetapi juga menimbulkan gesekan sosial. Sebagian masyarakat menolak kehadiran tambang karena khawatir kehilangan ruang hidup, sementara sebagian lainnya menerima karena alasan ekonomi dan kesempatan kerja.
Kelompok masyarakat sipil dan aktivis lingkungan di Ternate dan Gebe menyebut bahwa kerusakan ekosistem telah mencapai titik mengkhawatirkan. Aksi demonstrasi sempat digelar di Ternate dan Sofifi menuntut pemerintah provinsi meninjau ulang izin operasi PT Karya Wijaya. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret dari pemerintah provinsi untuk menghentikan atau meninjau izin tersebut.
Sikap pemerintah provinsi dinilai bias kepentingan. Gubernur Maluku Utara saat ini, Sherly Tjoanda, merupakan pemegang saham mayoritas dan sekaligus mantan komisaris utama PT Karya Wijaya. Keterlibatan pejabat aktif dalam bisnis tambang yang beroperasi di wilayah kewenangannya sendiri menimbulkan dugaan konflik kepentingan yang serius.
Keluarga Laos–Tjoanda: Jaringan Bisnis dan Politik
Struktur pemegang saham PT Karya Wijaya menunjukkan dominasi satu keluarga besar yang telah lama berpengaruh di Maluku Utara. Sherly Tjoanda memiliki sekitar 71 persen saham, sementara tiga anaknya — Bennett Edbert Laos, Beneisha Edelyn Laos, dan Benedictus Edrick Laos — masing-masing memegang 8 persen. Sisanya, sekitar 5 persen, dimiliki Liem Rendy Halim, rekan bisnis lama keluarga ini.
Keluarga Laos bukan nama baru. Mendiang Benny Laos, suami Sherly, adalah mantan Bupati Pulau Morotai yang juga dikenal sebagai pengusaha tambang dan perhotelan. Beberapa perusahaan di bawah keluarga ini beroperasi di sektor pertambangan nikel dan emas, terutama di wilayah Pulau Obi dan Halmahera. Jejak bisnis keluarga Laos meluas dari tambang hingga jaringan hotel yang tersebar di Ternate, Morotai, dan Jakarta.
Kondisi ini menempatkan PT Karya Wijaya dalam posisi unik: perusahaan keluarga yang dikelola oleh lingkar kekuasaan daerah, dengan kepemilikan yang terhubung langsung ke pejabat aktif. Secara hukum, keterlibatan pejabat publik dalam perusahaan tambang bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan prinsip etika pemerintahan.
Jaringan Kepentingan dan Potensi Konflik
Kedekatan struktural antara pemegang saham PT Karya Wijaya dan pejabat publik menunjukkan adanya overlap antara bisnis dan pemerintahan. Sherly Tjoanda sebagai Gubernur memiliki kewenangan strategis dalam kebijakan pertambangan di tingkat provinsi. Dalam konteks ini, keputusan pemerintah untuk memperluas izin Karya Wijaya pada 2025 dapat menimbulkan persepsi penyalahgunaan wewenang atau minimal, keberpihakan kebijakan terhadap perusahaan sendiri.
Selain itu, ekspansi wilayah operasi tambang di Halmahera Timur juga menimbulkan potensi sengketa dengan perusahaan lain yang memiliki konsesi di kawasan yang sama. Sejumlah laporan menyebut bahwa Karya Wijaya tengah menghadapi tumpang tindih wilayah izin dengan entitas tambang lain, meski hingga kini belum ada putusan hukum yang final.
Kesimpulan: Tambang, Kekuasaan, dan Krisis Tata Kelola
Kasus PT Karya Wijaya memperlihatkan wajah klasik hubungan antara tambang dan kekuasaan di Maluku Utara: bisnis keluarga politik yang menguasai sumber daya alam, sementara masyarakat menanggung beban ekologisnya.
Pulau Gebe, yang seharusnya dijaga sebagai wilayah rentan, kini menjadi laboratorium kecil untuk melihat bagaimana kekuasaan politik dapat memayungi kepentingan ekonomi melalui instrumen hukum dan birokrasi.
Konflik antara warga, lingkungan, dan korporasi tambang di Gebe bukan sekadar persoalan izin — melainkan persoalan tata kelola dan integritas publik. Selama kepentingan bisnis dan pemerintahan masih bersinggungan di meja yang sama, upaya menuju pertambangan berkelanjutan di Maluku Utara akan selalu berjalan pincang. (GF/Tim)
