Fatamorgana Kesejahteraan di Tanah Nikel

Industri nikel di Tanah Halmahera (dok/foto)

TERNATE,GREEN FORES-Di atas kertas, ekonomi Provinsi Maluku Utara tampak memukau.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal III tahun 2025, pertumbuhan ekonomi daerah ini mencapai 39,10 persen, tertinggi di Indonesia.

Pertumbuhan Ekonomi Malut Naik 39 Persen, Tapi Rakyat Tak Ikut Sejahtera

Namun, di balik angka fantastis itu, tersimpan ironi yang mencengangkan, rakyat Maluku Utara tidak ikut merasakan kemakmuran tersebut.

Industri tambang dan hilirisasi nikel di Halmahera menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi.

Pabrik smelter berdiri di berbagai kabupaten, kawasan industri tumbuh pesat, dan angka ekspor melonjak.

Tetapi bagi warga lokal, semua itu terasa jauh dari kehidupan sehari-hari.

Harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja yang strategis dikuasai tenaga kerja asing (TKA), dan posisi warga lokal sebagian besar terbatas pada pekerjaan kasar dengan upah rendah.

“Hebat dong Maluku Utara, tumbuh 39 persen. Tapi tidak, bro. Kita sedang bekerja untuk memakmurkan bangsa Tiongkok, bukan rakyat kita sendiri,” ujar Mukhtar Adam, pengamat ekonomi Maluku Utara.

Mukhtar menegaskan bahwa angka pertumbuhan ekonomi tinggi itu tidak mencerminkan kesejahteraan rakyat, melainkan aktivitas industri besar yang dikuasai korporasi asing.

“Yang menikmati hasil pertumbuhan itu adalah perusahaan besar, mayoritas asing. Rakyat lokal hanya jadi penonton,” katanya.

BPS mencatat, total investasi yang masuk ke Maluku Utara pada kuartal III tahun ini mencapai Rp 15 triliun.

Namun, nilai ekspor ke Tiongkok pada periode yang sama mencapai Rp9,15 miliar dolar AS atau setara Rp152,8 triliun dengan kurs tengah Bank Indonesia sebesar Rp16.700 per dolar AS.

Setiap Rp 1 investasi, menghasilkan sekitar Rp 10 nilai ekspor yang meninggalkan bumi Maluku Utara.

“Mereka bawa modal Rp 15 triliun, tapi hasil ekspor mencapai lebih dari Rp152 triliun. Yang untung jelas bukan kita,” kata Mukhtar.

Fenomena ini menegaskan ketimpangan yang terjadi antara investasi yang masuk dan manfaat yang dirasakan masyarakat lokal.

Ledakan industri tambang memang menciptakan aktivitas ekonomi. Namun, sebagian besar pekerjaan strategis dan pengelolaan industri dipegang oleh tenaga kerja asing, sedangkan pekerja lokal hanya mengisi posisi dasar dengan upah rendah.

“Rakyat kita hanya jadi buruh di tanah sendiri. Kita sedang membangun kemakmuran bangsa lain,” ujar Mukhtar.

Menurutnya, kondisi ini merupakan cerminan pembangunan timpang, di mana sumber daya alam dieksploitasi besar-besaran tanpa memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.

Mukhtar menyebut situasi ini sebagai fatamorgana kesejahteraan dan kemakmuran yang terlihat di angka statistik, tapi menguap di realita.

“Kita bangga dengan angka pertumbuhan, tapi rakyatnya tetap miskin. Ini pembangunan yang kehilangan arah,” ujarnya.

Ia menekankan perlunya pemerintah daerah dan pusat menata ulang arah investasi, memastikan nilai tambah dan keuntungan industri tetap tinggal di Maluku Utara, serta membuka peluang kerja yang adil bagi masyarakat lokal.

“Kita butuh investasi yang berkeadilan. Jangan hanya membangun pabrik, tapi bangun juga masa depan rakyat,” tambahnya.

Angka pertumbuhan tinggi memang menggembirakan di laporan statistik. Namun tanpa pemerataan dan kedaulatan ekonomi, angka itu hanya menjadi fatamorgana kesejahteraan indah di grafik, tapi hampa di dapur rakyat.

Kekayaan alam Maluku Utara seharusnya menumbuhkan kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri, bukan sekadar keuntungan korporasi asing.

Karena sejatinya, kemakmuran sejati diukur dari kehidupan rakyat yang merasakan hasil bumi mereka sendiri. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *