HALMAHERA BARAT, GREEN.FORESINDONESIA – Puluhan warga Desa Gamsungi, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, telah melakukan unjuk rasa selama tiga hari berturut-turut di depan kantor DPRD setempat. Tuntutan mereka satu: mencabut izin lingkungan operasi PT Sinar Mineral Maluku, perusahaan tambang nikel yang beroperasi di kawasan hulu sungai desa mereka.
Konflik yang sebenarnya telah berlangsung setahun terakhir ini memuncak ketika musim hujan tiba. Warga mengeluhkan bahwa air sungai, yang menjadi sumber utama air bersih dan untuk mengairi kebun cengkih serta perikanan darat, berubah menjadi keruh dan berminyak.
“Sebelum tambang ada, air kami jernih. Kami bisa minum dari sungai, ikan di keramba berkembang baik. Sekarang? Lihat sendiri, seperti air teh kotor. Ikan-ikan di keramba mati, dan kami takut gunakan untuk mandi apalagi minum,” ujar Taswin (48), salah seorang tokoh pemuda desa, dengan suara lantang.
Bukan hanya masalah air. Jalan desa yang dilalui truk-truk pengangkut material tambang berat juga mengalami kerusakan parah. Debu batu dan tanah laterit mengepul tebal setiap kali kendaraan melintas, mengotori rumah-rumah warga dan mengganggu pernapasan.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Halmahera Barat mengaku telah menerima pengaduan dan sedang melakukan investigasi. “Kami telah mengambil sampel air di beberapa titik di sekitar lokasi tambang dan aliran sungai. Tim sedang menganalisisnya. Jika memang terbukti melampaui baku mutu, kami tidak segan-segan memberikan sanksi administratif, mulai dari denda hingga recomendasi pencabutan izin,” jelas Kepala DLH Halbar, Drs. Ahmad Rizal, kepada Green Fores.
Sementara itu, manajemen PT Sinar Mineral Maluku mengeluarkan siaran pers yang menegaskan bahwa perusahaan telah mematuhi semua aturan AMDAL. Mereka menyatakan bahwa keruhnya air sungai adalah fenomena alamiah akibat erosi saat hujan deras dan berjanji akan memperbaiki jalan desa serta memberikan bantuan air bersih kepada warga sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Namun, janji itu ditolak warga. “Kami tidak butuh bantuan sementara. Kami butuh jaminan lingkungan kami tidak dirusak. Jika perusahaan tidak bisa beroperasi tanpa merusak, lebih baik hentikan operasinya,” tegas Maria Lestari, seorang ibu rumah tangga yang juga kehilangan mata pencaharian dari keramba ikannya.
Konflik di Desa Gamsungi menjadi potret nyata dari ketegangan antara pembangunan ekonomi berbasis ekstraktif dan keberlanjutan kehidupan sosial-ekologis masyarakat lokal di Maluku Utara. (GFI/Tim)
